TEORI KEADILAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM DAN ISLAM
Oleh : M. YUSRIZAL, SH., M.Kn
A. Teori Keadilan dalam filsafat
hukum
Teori-teori
Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan
sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice”.[1]
Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan
kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara
teori-teori itu dapat disebut: teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean
ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a theory of
justice.
1. Teori keadilan
Dalam Pandangan Aristoteles.
Pandangan-pandangan
Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean
ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean
ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan
filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya,
karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan.[2]
Yang sangat penting dari
pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian
kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik
dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia
sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan
yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di
depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya
sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Seperti ungkapan Cicero;
“…tiada masyarakat tanpa hukum dan tiada hukum tanpa masyarakat, hukum diadakan
oleh masyarakat untuk mengatur kehidupan mereka.”[3]
Dari pembedaan ini Aristoteles
menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Lebih lanjut,
dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan
korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum
perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap
problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam
wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang
sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang
menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya,
pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles
berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang
sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian”
matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi
kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan
warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan
nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. [4]
Di sisi lain, keadilan korektif berfokus
pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau
kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang
memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka
hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun,
ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan
atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan
tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah
peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.[5]
Dalam membangun argumennya, Aristoteles
menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan
pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim,
dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum
tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum
positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan
pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber
pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan
serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap
merupakan hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia. [6]
2. Keadilan sosial
dalam Pandangan John Rawls.
John
Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan
sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair
equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa
perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling
besar bagi mereka yang paling kurang beruntung.
Istilah
perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan
dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan,
dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan
pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek
kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi
perlindungan khusus. Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan
terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme
sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill.
Rawls
berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan
kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan
lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa
sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat.
Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat
dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah
kurang beruntung dalam masyarakat.
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus
diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan
masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi.
Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum
minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat
harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang
mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat
pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada
semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan
pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan
perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.
Lebih
lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang
berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu,
pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling
luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur
kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi
keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap
orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.[7]
Dengan demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat
sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama
kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang
yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan
untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi
ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi
sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan
harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan
untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
B. Teori keadilan
dalam filsafat hukum
Islam
1. Keadilan ilahiyah.
Gagasan
Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah
rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan keadilan dimuka
bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat
mengetahui baik dan buruk melalui wahyu. Pada optik inilah perbedaan-perbedaan teologis di kalangan cendekiawan
Islam muncul. Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi
yang bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan
ilahiah, dan perdebatan tentang hal itu melahirkan dua mazhab utama teologi
dialektika Islam yaitu: mu`tazilah dan asy`ariyah.
Tesis
dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai yang bebas, bertanggung jawab di
hadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk merupakan
kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar yaitu, tak
bergantung pada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa
sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif.
Ini
merupakan akibat wajar dari tesis pokok mereka bahwa keadilan Allah tergantung
pada pengetahuan obyektif tentang baik dan buruk, sebagaimana ditetapkan oleh
nalar, apakah sang Pembuat hukum menyatakannya atau tidak. Dengan kata lain,
kaum Mu`tazilah menyatakan kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan
etika dan spiritual, dengan demikian menegakkan bentuk obyektivisme rasionalis.[8]
Pendirian
Mu`tazilah tentu mendapat tentangan. Kaum Asy`ariah menolak gagasan akal
manusia sebagai sumber otonomi pengetahuan etika. Mereka mengatakan bahwa baik
dan buruk itu adalah sebagaimana Allah tentukan, dan adalah angkuh untuk
menilai Allah berdasarkan kategori-kategori yang diberikan-Nya untuk
mengarahkan kehidupan manusia. Bagi kaum Mu`tazilah tidak ada cara, dalam
batas-batas logika biasa, untuk menerangkan hubungan kekuasaan Allah dengan
tindakan manusia. Lebih realistis untuk mengatakan bahwa segala sesuatu yang
terjadi merupakan hasil kehendak-Nya, tanpa penjelasan atau pembenaran.
Namun,
penting untuk membedakan antara tindakan manusia yang bertanggung jawab dan
gerakan–gerakan yang dinisbahkan kepada hukum-hukum alam. Tanggung jawab
manusia bukan merupakan hasil pemilihan bebas, suatu fungsi yang, menurut
Mu`tazilah, menentukan cara bertindak yang dihasilkan. Namun hanya Allah semata-mata yang menciptakan
segala tindakan secara langsung. Tetapi, dalam beberapa tindakan, suatu
kualitas tindakan sukarela digantikan kehendak Allah, yang menjadikan seseorang
sebagai wakil sukarela dan bertanggung jawab. Karenanya, tanggung jawab manusia
merupakan hasil kehendak ilahiah yang diketahui melalui bimbingan wahyu. Kalau
tidak, nilai-nilai tidak memiliki dasar selain kehendak Allah yang mengenai
nilai-nilai itu.[9]
Berdasarkan bimbingan universal, maka
dapat dibicarakan tentang dasar-dasar natural-moral tingkah laku manusia di
dalam Al-Quran. Ayat-ayat tersebut menunjuk kepada watak moral yang universal
dan obyektif yang membuat semua manusia diperlakukan secara sama dan sama-sama
bertanggung jawab kepada Allah. Dengan kata lain, perintah-perintah moral
tertentu jelaslah didasarkan pada watak umum manusia dan dianggap sebagai
terlepas dari keyakinan-keyakinan spiritual tertentu, meskipun semua bimbingan
praktis pada akhirnya berasal dari sumber yang sama, yaitu, dari Allah.
Dalam bidang keadilan obyektif universal,
manusia di perlakukan secara sama dan memikul tanggung jawab yang sama untuk
menjawab bimbingan universal. Lagi pula, tanggung jawab moral asasiah semua
manusia pada tingkat bimbingan universal inilah yang membuatnya masuk akal
untuk mengatakan bahwa Al-Quran menunjukkan sesuatu yang sama dengan pemikiran
barat tentang hukum natural, yang merupakan sumber keadilan positif dalam
masyarakat yang berdasarkan persetujuan yang tak di ucapkan atau oleh tindakan
resmi. Karena Al-Quran mengakui keadilan teitis dan obyektif, maka mungkin
untuk mengistilahkannya keadilan natural dalam arti yang dipakai oleh
Aristoteles yaitu, suatu produk dari kekuatan natural bukan dari kekuatan
sosial.
Mengakui Aristoteles, para sarjana
seringkali menyamakan keadilan Ilahiah dengan keadilan natural, tetapi, tidak
seperti pakar-pakar hukum natural yang memperhatikan hubungan keadilan dengan
masyarakat, faqih-faqih memusatkan usaha mereka pada konsep keadilan dalam
kaitannya dengan kehendak Tuhan dan menghubungkannya dengan nasib manusia. Alim-alim
tersebut berpendapat bahwa keadilan Ilahiah merupakan tujuan akhir dari wahyu
islam, yang diungkapkan dalam bentuk awalnya dalam hukum-hukum islam yang suci
(syari`ah).[10]
2. Cita Keadilan sosial hukum Islam.
Salah satu konsep penting dan fundamental
yang menjadi pokok bahasan dalam filasafat hukum Islam adalah konsep maqasid
at-tasyri' atau maqasid al-syariah yang menegaskan bahwa hukum Islam
disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini
telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu
kaidah yang cukup populer, "Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum
Allah." Teori maslahat di sini menurut Masdar F. Masudi sama dengan teori
keadilan sosial dalam istilah filsafat hukum. [11]
Adapun inti dari konsep maqasid
al-syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan
keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan
inti dari maqasid al-syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan
hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat. Untuk memahami hakikat dan
peranan maqasid al-syari'ah, berikut akan diuraikan.
Pemikir
dan ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas maqasid
al-syari'ah adalah Izzuddin ibn Abd al-Salam dari kalangan Syafi'iyah. Ia
lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat secara hakiki dalam
bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat. Menurutnya, maslahat keduniaan
tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala prioritas, yaitu:
daruriyat, hajiyat, dan takmilat atau tatimmat. Lebih jauh lagi ia menjelaskan,
bahwa taklif harus bermuara pada terwujudnya maslahat manusia, baik di dunia
maupun di akhirat.
Pembahasan tentang maqasid al-syari'ah secara
khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh al-Syatibi dari kalangan Malikiyah.
Dalam kitabnya al-Muwafaqat yang sangat terkenal itu, ia menghabiskan
lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai maqasid al-syari'ah. Sudah
tentu, pembahasan ten-tang maslahat pun menjadi bagian yang sangat penting
dalam tulisannya. Ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah
menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya maslahat hidup manusia,
baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam bidang hukum harus
mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum tersebut. Seperti
halnya ulama sebelumnya, ia juga membagi urutan dan skala prioritas maslahat
menjadi tiga urutan peringkat, yaitu daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Yang
dimaksud maslahat menurutnya seperti halnya konsep al-Gazali, yaitu memelihara
lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Konsep maqasid al-syari'ah atau
maslahat yang dikembangkan oleh al-Syatibi di atas sebenarnya telah
melampaui pembahasan ulama abad-abad sebelumnya. Konsep maslahat al-Syatibi
tersebut melingkupi seluruh bagian syari'ah dan bukan hanya aspek yang tidak
diatur oleh nas. Sesuai dengan pernyataan al-Gazali, al-Syatibi merangkum bahwa
tujuan Allah menurunkan syari'ah adalah untuk mewujudkan maslahat. Meskipun
begitu, pemikiran maslahat al-Syatibi ini tidak seberani gagasan at-Tufi.[12] Pandangan at-Tufi mewakili
pandangan yang radikal dan liberal tentang maslahat. At-Tufi berpendapat bahwa
prinsip maslahat dapat membatasi (takhsis)
Alquran, sunnah dan ijma' jika
penerapan nas Alquran, sunnah dan ijma'
itu akan menyusahkan manusia. Akan tetapi, ruang lingkup dan bidang berlakunya
maslahat at-Tufi tersebut adalah mu'amalah.
Sejak awal syari'ah Islam sebenarnya tidak
memiliki tujuan lain kecuali kemaslahatan manusia. Ungkapan standar bahwa
syari'ah Islam dicanangkan demi kebahagiaan manusia, lahir-batin;
duniawi-ukhrawi, sepenuhnya mencerminkan maslahat. Akan tetapi
keterikatan yang berlebihan terhadap nas, seperti dipromosikan oleh faham
ortodoksi, telah membuat prinsip maslahat hanya sebagai jargon kosong, dan
syari'ah-yang pada mulanya adalah jalan-telah menjadi jalan bagi dirinya
sendiri.
Hukum
haruslah didasarkan pada sesuatu yang harus tidak disebut hukum, tetapi lebih
mendasar dari hukum. Yaitu sebuah sistem nilai yang dengan sadar dianut sebagai
keyakinan yang harus diperjuangkan: maslahat, keadilan. Proses pendasaran hukum atas hukum hanya bisa
dimengerti dalam konteks formal, misalnya melalui cara qiyas. Akan
tetapi, seperti diketahui, qiyas haruslah dengan illat, sesuatu
yang lebih merupakan patokan hukum, bukan hukum itu sendiri. Akan tetapi itulah
struktur pemikiran hukum Islam selama ini. Oleh sebab itu tidak mengherankan
apabila dunia pemikiran hukum Islam ditandai oleh ciri dan watak yang sangat
patut dipertanyakan.
Dengan
demikian, jelas bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam
adalah maslahat, maslahat manusia universal, atau- dalam ungkapan yang lebih
operasional "keadilan sosial". Tawaran teoritik (ijtihadi) apa
pun dan bagaimana pun, baik didukung dengan nas atau pun tidak, yang bisa
menjamin terwujudnya maslahat kemanusiaan, dalam kacamata Islam adalah sah, dan
umat Islam terikat untuk mengambilnya dan merealisasikannya. Sebaliknya,
tawaran teoritik apa pun dan yang bagaimana pun, yang secara meyakinkan tidak
mendukung terjaminnya maslahat, lebih lebih yang membuka kemungkinan terjadinya
kemudaratan, dalam kacamata Islam, adalah fasid, dan umat Islam secara
orang perorang atau bersama-sama terikat untuk mencegahnya.
Apabila suatu hadis teks ajaran telah dibuktikan kesahihannya, itulah
mazhab, secara meyakinkan perlu ditinjau kembali. Kaidah inilah yang secara
sistematis telah menggerakkan dunia pemikiran, khususnya pemikiran hukum, dalam
Islam lebih mengutamakan bunyi harfiyah nas daripada kandungan
substansialnya. Atau, dalam dunia pemikiran fiqh, lebih mengutamakan atau bahkan hanya memperhatikan bunyi
ketentuan legal formal, daripada tuntutan maslahat (keadilan), yang notabene
merupakan jiwanya. Abdul Manan menyatakan bahwa “…menjadikan nilai-nilai
fiqh dalam bentuk perundang-undangan sebagai hukum positif merupakan
konsekuensi negara Indonesia
mengikuti sistem hukum Romawi (Romawi law system), mengingat peraturan
perundang-undangan yang telah dijadikan hukum positif oleh negara merupakan
sumber hukum yang kuat bagi hakim dalam memutuskan perkara”.[13]
Maslahat
yang bersifat individual-subyektif, adalah maslahat yang menyangkut kepentingan
seseorang yang secara eksistensial bersifat independen, dan terpisah, dengan
kepentingan orang lain. Dalam maslahat kategori ini, karena sifatnya yang
sangat subyektif, yang berhak menentukan dan sekaligus sebagai hakimnya tentu
saja adalah pribadi bersangkutan. Tidak ada kekuatan kolektif mana pun yang
berhak menentukan apa yang secara personal-subyektif dianggap maslahat oleh
seseorang. Sedangkan maslahat yang bersifat sosial-obyektif adalah maslahat
yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Keadilan dalam filsafat hukum menjadi
landasan utama yang harus diwujudkan melalui hukum yang ada. Aristoteles
menegaskan bahwa keadilan sebagai inti dari filsafat hukumnya. Baginya,
keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, antara kesamaan numerik dan
kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai
satu unit. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya
sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dia juga membedakan
keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama
berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. John
Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan bahwa maka program penegakan
keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip
keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan
dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua,
mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat
memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi
setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak
beruntung.
Teori
keadilan dalam Islam pertama kali didiskusikan sebagai persoalan teologi
tentang keadilan ilahiyah yang melahirkan dua mazhab yaitu: mu`tazilah dan
asy`ariyah. Mu`tazilah menyatakan bahwa manusia, sebagai yang bebas,
bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil. Baik dan buruk merupakan
kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar. Allah telah
menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan
buruk secara obyektif. Mu`tazilah dengan demikian menegakkan bentuk
obyektivisme rasionalis. Sedangkan Asy`ariah mengatakan bahwa baik dan buruk
itu adalah sebagaimana Allah tentukan, dan adalah angkuh untuk menilai Allah
berdasarkan kategori-kategori yang diberikan-Nya untuk mengarahkan kehidupan
manusia. Tanggung jawab manusia bukan merupakan hasil pemilihan bebas, namun
hanya Allah semata-mata yang menciptakan segala tindakan secara langsung. Karenanya,
tanggung jawab manusia merupakan hasil kehendak ilahiah yang diketahui melalui
bimbingan wahyu. Konsepsi ini dikenal sebagai subyektivisme teistis. Di samping
itu, teori keadilan juga menjadi landasan utama dalam filsafat hukum Islam,
khususnya dalam pembahasan maqasid al-syariah yang menegaskan bahwa
hukum Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan memeli-hara maslahat umat
manusia. Teori maslahat di sini sama dengan teori keadilan sosial dalam istilah
filsafat hukum. Teori ini pertama kali dikenalkan oleh Imam al-Haramain
al-Juwaini lalu dikembangkan oleh muridnya, al-Gazali. Ahli teori hukum Islam
berikutnya yang secara khusus membahas maqasid al-syari'ah adalah
Izzuddin ibn Abd al-Salam dari kalangan Syafi'iyah.
[1] Theo Huijbers,
Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta:
kanisius, 1995, hal. 196.
[2] Opcit, hal 24.
[3] Lili
Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar Maju, 2003, hal. 146.
[4] Opcit,
Carl Joachim Friedrich, hal 25.
[5] Ibid
[6] Ibid,
hal. 26-27.
[7] John Rawls, A
Theory of Justice, London: Oxford University
press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan
dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006.
[8] Mumtaz Ahmad
(ed), Masalah-Masalah Teori politik Islam,
Bandung: Mizan,
1994, hal. 154-155.
[9] Ibid,
hal. 156
[10] Ibid, hal. 157-162.
[11] Masdar
F.Mas'udi, "Meletakkan Kembali
Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah" Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul
Qur'an No.3, Vol. VI Th. 1995. hal. 97.
[12] Nur A. Fadhil
Lubis, Hukum Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia, Medan :Pustaka Widyasarana,1995, hal.34-35.
[13] Abdul Manan, Reformasi
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006, hal. 296.
Comments